Rabu, 02 Agustus 2017

Pekan Pancasila


 Image result for saya indonesia saya pancasila

      
      NEGARA Indonesia diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sehari kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945, para pendiri negara menetapkan UUD 1945 yang di dalamnya, pada Pembukaan UUD alinea keempat, tercantum substansi Pancasila, yaitu ”...Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pancasila yang rumusannya terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut merupakan dasar negara yang mengandung makna ideologi nasional sebagai cita-cita dan tujuan nasional serta tidak terlepas melalui proses kelahiran falsafah Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945. Sejarah telah menorehkan tinta emas dijadikannya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara terkait erat dengan peran dan pemikiran besar Bung Karno, antara lain pentingnya kita menegakkan dan menjalankan negara Pancasila, yaitu negara berdasarkan Pancasila, yang harus dimaknai Indonesia bukan negara berdasarkan yang lain-lain.

Setelah melalui proses perdebatan yang seru dan bersejarah dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), kita akan paham betul dinamika perdebatan dari para pendiri bangsa, antara lain Bung Karno, Bung Hatta, Mohammad Yamin, Supomo, Ki Bagus, dan banyak sekali tokoh yang ikut urun rembuk untuk mencari seperti apa dasar negara itu. Bung Karno lah yang pertama kali menggunakan istilah Pancasila pada pidato 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI yang dipimpin dr KRT Radjiman Wedyodiningrat dan selanjutnya tanggal 1 Juni dihormati sebagai Hari Lahir Pancasila.

Sepanjang NKRI berdiri tegak dan utuh, Pancasila tetap merupakan dasar negara, falsafah, dan ideologi bangsa. MPR RI telah mengeluarkan TAP MPR RI Nomor 18/MPR/ 1998 yang mencabut TAP MPR Nomor 2/ MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), tetapi sekaligus secara eksplisit menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian, tidak perlu ada lagi perdebatan antaranak bangsa tentang Pancasila sebagai dasar negara karena Pancasila adalah jiwa raga bangsa Indonesia dan perekat bangsa Indonesia sehingga setiap anak bangsa wajib berpegang teguh bahwa ”saya Indonesia, saya Pancasila”.

Indonesia merdeka sebagai satu-kesatuan negara-bangsa memiliki Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan falsafah atau pandangan hidup bangsa yang terbukti tangguh dan memiliki kesaktian dalam melewati berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik.
Pada era sekarang di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Kabinet Kerja 2014–2019, pemerintah memiliki komitmen yang kuat dalam upaya pemantapan Pancasila.

Pemerintah telah menetapkan Keppres Nomor 24/ 2016 tentang Hari Lahir Pancasila yang menegaskan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dan dinyatakan sebagai hari libur nasional. Di samping itu juga menetapkan Perpres Nomor 54/2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).

Tema Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2017 adalah ”Saya Indonesia, Saya Pancasila” melalui penyelenggaraan Pekan Pancasila dari tanggal 29 Mei hingga 4 Juni 2017. Tujuan dari pelaksanaan Pekan Pancasila tersebut adalah untuk menguatkan dan memperkenalkan ulang dasar-dasar Pancasila dan untuk menarik minat para generasi muda terhadap Pancasila sehingga diharapkan seluruh komponen bangsa Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila pada dasarnya merupakan ideologi terbuka, yaitu ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila mengandung tiga tatanan nilai sebagai berikut.

Pertama, nilai dasar: nilai ini tetap dan tidak dapat berubah yang rumusannya terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berupa nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan yang sekaligus merupakan hakikat Pancasila.

Kedua, nilai instrumental: merupakan penjabaran dari nilai dasar berupa arahan, kebijakan, strategi, sarana dan upaya yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta perkembangan zaman yang harus dipatuhi oleh masyarakat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ketiga, nilai praksis. Nilai ini merupakan penjabaran dari nilai dasar dan nilai instrumental yang dilaksanakan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain gotong-royong, musyawarah mufakat, toleransi. Nilai praksis merupakan pertarungan antara idealisme dan realitas.

Kembali Ke Pancasila


Solusi terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan kebangsaan di atas adalah dengan kembali ke nilai-nilai Pancasila. Pertanyaannya adalah bagaimana cara kembali ke Pancasila ? Pertama, membumikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Membumikan Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu Pancasila yang sesungguhnya berada dalam tataran filsafat harus diturunkan ke dalam hal-hal yang sifatnya implentatif. Sebagai ilustrasi nilai sila kedua Pancasila harus diimplementasikan melalui Image result for garuda pancasilapenegakan hukum yang adil dan tegas. Contoh, aparat penegak hokum (polisi, jaksa dan hakim) harus tegas dan tanpa kompromi menindak para pelaku kejahatan, termasuk koruptor. Jadi membumikan Pancasila salah satunya adalah dengan penegakan hukum secara tegas. Tanpa penegakkan hukum yang tegas, maka Pancasila hanya rangkaian kata-kata tanpa makna dan nilai serta tidak mempunyai kekuatan apa-apa.

Kedua, internalisasi nilai-nilai Pancasila, baik melalui pendidikan formal maupun non formal (masyarakat). Pada tataran pendidikan formal perlu revitalisasi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (dulu Pendidikan Moral Pancasila) di sekolah. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selam ini dianggap oleh banyak kalangan “gagal” sebagai media penanaman nilai-nilai Pancasila.
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan hanya sekedar menyampaikan sejumlah pengetahuan (ranah kognitif) sedangkan ranah afektif dan psikomotorik masih kurang diperhatikan. Ini berakibat pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan cenderung menjenuhkan siswa. Hal ini diperparah dengan adanya anomaly anatara nilai positif di kelas tidak sesuai dengan apa yang terjadi dalam realitas sehari-hari. Sungguh dua realitas yang sangat kontras dan kontradiktif. Oleh karena itu, pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus dikemas sedemikian rupa, sehingga mampu menjadi alat penanaman nilai-nilai Pancasila bagi generasi muda.
Pada tataran masyarakat, internalisasi Pancasila gagal menjadikan masyarakat Pancasilais. Pola penataran P4 yang dipakai sebagai pendekatan rezim Orde baru juga gagal mengantarkan masyarakat Pancasilais. Hal ini disebabkan Pancasila justru dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Ketika reformasi seperti saat ini, Pancasila justru semakin jauh dari perbincangan, baik oleh masyarakat maupun para elit politik. Pancasila seakan semakin menjauh dari keseharian kita. Sungguh ironis sebagai bangsa pejuang yang dengan susah payah para pendiri negara (founding father) menggali nilai-nilai Pancasila dari budaya bangsa, kini semakin pudar dan tersisih oleh hiruk pikuk reformasi yang belum mampu menyelesaikan krisis multidimensional yang dialami bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu perlu dicari suatu model (pendekatan) internalisasi nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat yang tepat dan dapat diterima, seperti melalui pendekatan agama dan budaya.
Ketiga, ketauladanan dari para pemimpin, baik pemimpin formal (pejabat negara) maupun informal (tokoh masyarakat). Dengan ketauladanan yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, diharapkan masyarakat luas akan mengikutinya. Hal ini disebabkan masyarakat kita masih kental dengan budaya paternalistic yang cenderung mengikuti perilaku pemimpinnya. Sudah semestinya kita bangga kepada bangsa dan negara Indonesia yang berideologikan Pancasila. Mari kita kembali ke jati diri bangsa (Pancasila) dalam menyelesaikan setiap masalah kebangsaan yang kita hadapi.

Problem Dalam Penanaman Nilai-Nilai Pancasila

Image result for Cinta Tanah Air IndonesiaSelama ini pengajaran dan penanaman nilai-nilai Pancasila memiliki struktural dan kultural. Pada tingkat struktural negara belum memiliki instrument yang memadai untuk mengenalkan Pancasila pada level implementatif sejak dini. Pancasila didesain sebagai kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah, tetapi tidak mempunyai kekuatan implementatif. Karenanya kurikulum Pancasila seharusnya tidak didesain dengan sekedar tatap muka di dalam kelas, dengan sedikit dialog, melainkan harus lebih implementatif dalam kehidupan sehari-hari, sehingga penanaman nilai-nilai Pancasila akan lebih mengena dan tepat sasaran, bagaimana mengajarkan secara praktis dan memberi contoh untuk menghargai perbedaan, toleransi, tidak korup, tidak sekedar mahfum secara lisan. Pada level kultur, strategi kebudayaan Indonesia, seharusnya mengarahkan Pancasila sebagai budaya atau tradisi ke-Indonesia-an, sehingga dengan sadar maupun tidak sadar masyarakat secara luas akan menjalankan nilai-nilai Pancasila, tanpa harus menghafal butir per butir. Tanpa harus meninggalkan tradisi-tradisi lokal yang memang sudah terakomodir nilainya melalui Pancasila. Pelembagaan Pancasila sebagai budaya, sekaligus pula untuk mengikis peninggalan tradisi-tradisi lokal yang memberi akses tidak baik bagi perkembangan Indonesia sekarang, semisal watak patrimoniaslitik yang mengakar kuat di Jawa. Jika jamak pendekatan digunakan untuk menggali dan memasifkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila, dengan tidak mengulangi kesalahan rezim yang lampau, ke depan tentunya Pancasila akan kembali menjadi Ideologi besar yang nilai-nilainya tertanam kuat dalam jiwa segenap massa rakyat Indonesia.

Pengaruh Pendidikan Pancasila Pada Kesadaran Bela Negara

                                  Image result for Cinta Tanah Air Indonesia


 
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang. Kesadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada negara dan kesediaan berkorban membela negara. Spektrum bela negara itu sangat luas, dari yang paling halus, hingga yang paling keras. Mulai dari hubungan baik sesama warga negara sampai bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata.Tercakup di dalamnya adalah bersikap dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.Dan Bela Negara merupakan tekad, sikap, perilaku, dan tindakan warga negara dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara, yang dijiwai oleh kecintaan kepada NKRI.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam bela negara adalah cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara. Yakin pada Pancasila sebagai ideologi negara, rela berkorban bagi bangsa dan Negara serta memiliki kemampuan awal bela Negara.Salah satu strategi dalam membangun daya tangkal bangsa untuk menghadapi kompleksitas ancaman ini adalah melaksanakan revitalisasi pembinaan kesadaran bela negara kepada setiap warga negara. Strategi itu akan terwujud bila ada keterpaduan penyelenggaraan secara lintas sektoral, sebagai wujud tanggung jawab bersama pembinaan SDM untuk mewujudkan keutuhan dan kelangsungan hidup NKRI.Diharapkan ada kesepahaman bahwa pembinaan kesadaran bela negara sebagai upaya membangun karakter bangsa yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional. Juga dapat diprogramkan pada setiap institusi pemerintah dan non pemerintah. Begitu pula dengan organisasi kemasyarakatan (Ormas) bisa melaksanakan sesuai aturan yang berlaku.Demi suatu tujuan, yaitu nasionalisme, cinta tanah air, dan kedamaian.Hak dan kewajiban warga negara, terutama kesadaran bela negara akan terwujud dalam sikap dan perilakunya bila ia dapat merasakan bahwa konsepsi demokrasi dan hak asasi manusia sungguh–sungguh merupakan sesuatu yang paling sesuai dengan kehidupannya sehari–hari.

Unsur Dasar Bela Negara
1. Cinta Tanah Air
2. Kesadaran Berbangsa & bernegara
3. Yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara
4. Rela berkorban untuk bangsa & negara

Contoh-Contoh Bela Negara :
5. Melestarikan budaya
6. Belajar dengan rajin bagi para pelajar
7. Taat akan hukum dan aturan-aturan negara
8. Dll.

Beberapa dasar hukum dan peraturan tentang Wajib Bela Negara :
1. Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan
      Nasional.
2.  Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat.
3.  Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI. Diubah
      oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.
4.  Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan POLRI.
5.  Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI dan POLRI.
6.  Amandemen UUD '45 Pasal 30 ayat 1-5 dan pasal 27 ayat 3.
7.  Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Dan dalam Pasal 30 UUD 1945 menyebutkan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara". Konsep Bela Negara dapat  diuraikan yaitu secara fisik maupun non-fisik. Secara fisik yaitu dengan cara "memanggul bedil" menghadapi serangan atau agresi musuh. Bela Negara secara fisik dilakukan untuk menghadapi ancaman dari luar. Sedangkan Bela Negara secara non-fisik dapat didefinisikan sebagai "segala upaya untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia dengan cara meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara". sipil, di mana unsur-unsur Rakyat Terlatih membantu pemerintah merupakan unsur bantuan tempur bagi pasukan reguler TNI dan terlibat langsung di medan perang.
Apabila daerah dalam menangani Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, sementara fungsi Perlawanan Rakyat dilakukan dalam keadaan darurat perang di mana Rakyat Terlatih keadaan ekonomi nasional telah pulih dan keuangan negara memungkinkan, maka dapat pula dipertimbangkan kemungkinan untuk mengadakan Wajib Militer bagi warga negara yang memenuhi syarat seperti yang dilakukan di banyak negara maju di Barat. Mereka yang telah mengikuti pendidikan dasar militer akan dijadikan Cadangan Tentara Nasional Indonesia selama waktu tertentu, dengan masa dinas misalnya sebulan dalam setahun untuk mengikuti latihan atau kursus-kursus penyegaran.
Dalam keadaan darurat perang, mereka dapat dimobilisasi dalam waktu singkat untuk tugas-tugas tempur maupun tugas-tugas teritorial. Rekrutmen dilakukan secara selektif, teratur dan berkesinambungan. Penempatan tugas dapat disesuaikan dengan latar belakang pendidikan atau profesi mereka dalam kehidupan sipil misalnya dokter ditempatkan di Rumah Sakit Tentara, pengacara di Dinas Hukum, akuntan di Bagian Keuangan, penerbang di Skwadron Angkutan, dan sebagainya. Gagasan ini bukanlah dimaksudkan sebagai upaya militerisasi masyarakat sipil, tapi memperkenalkan "dwi-fungsi sipil". Maksudnya sebagai upaya sosialisasi "konsep bela negara" di mana tugas pertahanan keamanan negara bukanlah semata-mata tanggung jawab TNI, tapi adalah hak dan kewajiban seluruh warga negara Republik Indonesia.
Bela Negara Secara Non-Fisik Di masa transisi menuju masyarakat madani sesuai tuntutan reformasi saat ini, justru kesadaran bela negara ini perlu ditanamkan guna menangkal berbagai potensi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik dari luar maupun dari dalam seperti yang telah diuraikan di atas. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bela negara tidak selalu harus berarti "memanggul bedil menghadapi musuh". Keterlibatan warga negara sipil dalam bela negara secara non-fisik dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, sepanjang masa dan dalam segala situasi, misalnya dengan cara:
a.       meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, termasuk menghayati arti demokrasi dengan menghargai perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak
b.      menanamkan kecintaan terhadap tanah air, melalui pengabdian yang tulus  kepada masyarakat
c.       berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara dengan berkarya nyata (bukan retorika)
d.      meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum/undang-undang dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia
e.       pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal pengaruh- pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan bangsa Indonesia dengan lebih bertaqwa kepada Allah swt melalui ibadah sesuai agama/kepercayaan masing- masing.
Apabila seluruh komponen bangsa berpartisipasi aktif dalam melakukan bela negara secara non-fisik ini, maka berbagai potensi konflik yang pada gilirannya merupakan ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan bagi keamanan negara dan bangsa kiranya akan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali. Kegiatan bela negara secara non-fisik sebagai upaya peningkatan Ketahanan Nasional juga sangat penting untuk menangkal pengaruh budaya asing di era globalisasi abad ke 21 di mana arus informasi (atau disinformasi) dan propaganda dari luar akan sulit dibendung akibat semakin canggihnya teknologi komunikasi.
Bela Negara biasanya selalu dikaitkan dengan militer atau militerisme, seolah-olah kewajiban dan tanggung jawab untuk membela negara hanya terletak pada Tentara Nasional Indonesia. Padahal berdasarkan Pasal 30 UUD 1945, bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara Republik Indonesia. Bela negara adalah upaya setiap warga negara untuk mempertahankan Republik Indonesia terhadap ancaman baik dari luar maupun dalam negeri. Ancaman Dari Dalam Meskipun tokoh-tokoh LSM banyak yang menyatakan hal ini sebagai sesuatu yang mengada-ada, pada kenyataannya potensi ancaman yang dihadapi negara Republik Indonesia tampaknya akan lebih banyak muncul dari dalam negeri, antara lain dalam bentuk:
a.       disintegrasi bangsa, melalui gerakan-gerakan separatis berdasarkan sentimen kesukuan atau pemberontakan akibat ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat
b.      keresahan sosial akibat ketimpangan kebijakan ekonomi dan pelanggaran Hak Azasi Manusia yang pada gilirannya dapat menyebabkan huru-hara/kerusuhan massa
c.       upaya penggantian ideologi Panca Sila dengan ideologi lain yang ekstrim atau yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat perjuangan bangsa Indonesia
d.      potensi konflik antar kelompok/golongan baik akibat perbedaan pendapat dalam masalah politik, maupun akibat masalah SARA
e.       makar atau penggulingan pemerintah yang sah dan konstitusional.

Di masa transisi ke arah demokratisasi sesuai dengan tuntutan reformasi saat ini, potensi konflik antar kelompok/golongan dalam masyarakat sangatlah besar. Perbedaan pendapat yang justru adalah esensi dari demokrasi malah merupakan potensi konflik yang serius apabila salah satu pihak berkeras dalam mempertahankan pendiriannya sementara pihak yang lain berkeras memaksakan kehendaknya. Dalam hal ini, sebenarnya cara yang terbaik untuk mengatasi perbedaan pendapat adalah musyawarah untuk mufakat. Namun cara yang sesungguhnya merupakan ciri khas budaya bangsa Indonesia itu tampaknya sudah dianggap kuno atau tidak sesuai lagi di era reformasi ini. Masalahnya, cara pengambilan suara terbanyakpun (yang dianggap sebagai cara yang paling demokratis dalam menyelesaikan perbedaan pendapat) seringkali menimbulkan rasa tidak puas bagi pihak yang "kalah", sehingga mereka memilih cara pengerahan massa atau melakukan tindak kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.
Banyak alasan mengapa kita sebagai warga negara wajib mengupayakan untuk membela negara. Oleh dari itu, kita sebagai generasi penerus mempunyai kewajiban untuk memberi contoh bela negara, sesuai dengan arti atau pengertian bela negara indonesia.

Membangun Moral/Karakter Manusia

Image result for Cinta Tanah Air IndonesiaSecara etimologis, istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu kharaseein, yang awalnya mengandung arti mengukir tanda di kertas atau lilin yang berfungsi sebagai pembeda (Bohlin, 2005). Istilah ini selanjutnya lebih merujuk secara umum pada bentuk khas yang membedakan sesuatu dengan yang lainnya. Dengan demikian, karakter dapat juga menunjukkan sekumpulan kualitas atau karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan diri seseorang dengan orang lain (Timpe, 2007).
Perkembangan berikutnya, pengetahuan tentang karakter banyak dipelajari pada ilmu-ilmu sosial. Dalam filsafat misalnya, istilah karakter biasa digunakan untuk merujuk dimensi moral seseorang. Salah satu contoh adalah ilmuwan Aristoteles yang sering menggunakan istilah Ä“thÄ“ untuk karakter yang secara etimologis berkaitan dengan “ethics” dan “morality”. Adapun ahli psikologi pun banyak yang mengajukan definisi karakter dari berbagai pendekatan. Ada yang menggunakan istilah karakter pada area moral saja, ada juga yang memakainya pada domain moral dan nonmoral. Menurut Hasting et al. (2007), karakter mempunyai domain moral dan nonmoral. Karakter berdomain moral ialah semua perilaku yang merujuk kepada hubungan interpersonal atau hubungan dengan orang lain. Contohnya, kasih sayang, empati, loyal, membantu dan peduli dengan orang lain (sifat-sifat feminis). Sedangkan karakter berdomain nonmoral adalah semua perilaku yang merujuk kepada pengembangan sifat-sifat dalam diri atau intrapersonal. Contohnya, disiplin, jujur, bertanggung jawab, pantang menyerah dan percaya diri (sifat-sifat maskulin). Baik karakter berdomain moral maupun nonmoral tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk membentuk kepribadian yang peka terhadap kepentingan sosial (prososial).
Karakter juga terkadang dipandang sebagai kepribadian dan/atau lebih bersifat perilaku. Banyak ilmuwan psikologi yang mengabaikan fungsi kognitif pada definisi mereka mengenai karakter, namun ada juga yang lebih bersifat komprehensif. Bahkan ada ilmuwan yang menyatakan bahwa karakter merupakan suatu konstruksi sosial. Menurut ahli konstruksi sosial, karakter seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam perkembangan moral pada manusia.
Salah satu definisi karakter yang cukup lugas dikemukakan oleh Berkowitz (2002), yaitu sekumpulan karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan seseorang dan membantu dirinya untuk dapat berfungsi secara moral. Dikarenakan sifat karakter yang plural, maka beberapa ahli pun membagi karakter itu ke dalam beberapa kategori. Peterson dan Seligman (2004) mengklasifikasikan kekuatan karakter menjadi 6 kelompok besar yang kemudian menurunkan 24 karakter, yaitu kognitif (wisdom and knowledge), emosional (courage/kesatriaan), interpersonal (humanity), hidup bersama (justice), menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan (temperance), dan spiritual (transcendence). Di Indonesia, sebuah lembaga yang bernama Indonesia Heritage Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada anak-anak untuk menjadikannya pribadi berkarakter. Megawangi (dalam http://ihfkarakter.multiply.com/journal) menamakannya “9 Pilar Karakter”, yakni cinta Tuhan dan kebenaran; bertanggung jawab, kedisiplinan, dan mandiri; mempunyai amanah; bersikap hormat dan santun; mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama; percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah; mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan; baik dan rendah hati; mempunyai toleransi dan cinta damai.
Sedangkan pemahaman moral sendiri menurut Damon (1988) adalah aturan dalam berperilaku (code of conduct). Aturan tersebut berasal dari kesepakatan atau konsesus sosial yang bersifat universal. Moral yang bermuatan aturan universal tersebut bertujuan untuk pengembangan ke arah kepribadian yang positif (intrapersonal) dan hubungan manusia yang harmonis (interpersonal). Lebih lanjut, Nucci & Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu, indikator manusia yang berkarakter moral adalah:
1.    Personal improvement; yaitu individu yang mempunyai kepribadian yang teguh terhadap aturan yang diinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian, ia tidak mudah goyah dengan pengaruh lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang diinternalisasi tersebut. Ciri kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia junjung tidak akan melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh oleh lingkungan sosial untuk mencontek, manipulasi dan korupsi.
2.    Social skill; yaitu mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan sosialnya yang harmonis. Setiap nilai atau aturan universal tentunya akan mengarahkan manusia untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain. Contohnya, individu yang religius pasti akan berbuat baik untuk orang lain atau mengutamakan kepentingan ummat.
3.    Comprehensive problem solving; yaitu sejauhmana individu dapat mengatasi konflik dilematis antara pengaruh lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas pribadinya terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu tersebut tetap mendasarkan keputusan/sikap/ tindakannya kepada nilai atau aturan yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak mau mengikuti teman-temannya mencontek saat tidak diawasi oleh guru karena ia tetap menjunjung tinggi nilai atau aturan yang berlaku (kejujuran). Meskipun sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku teman-temannya yang mencontek. Keluwesan dalam berfikir dan memahami inilah dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan tersebut benar atau salah.
Terminologi pendidikan memang berbeda dengan pengajaran. Perbedaan tersebut terletak pada ranah yang ‘disentuh’ oleh pendidikan dan pengajaran. Dalam terminologi pengajaran maka guru hanya memberikan ilmu sebatas dalam ranah pengetahuan (cognitive) kepada muridnya. Sedangkan dalam terminologi pendidikan maka guru memberikan ilmu dalam ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective), sikap (attitude) dan tindakan (action). Hal tersebut sebenarnya berdasarkan pemikiran filosofis dari Aristoteles (filusuf Yunani) yang mempunyai prinsip soul & body dualism, yaitu manusia hakikatnya terdiri dari dua elemen dasar, yaitu rohani dan ragawi. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya memberikan ‘asupan’ untuk raga (dalam hal ini direpresentasikan dengan otak) tetapi juga ‘asupan’ untuk rohani berupa moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau benar-salah.
Berdasarkan paparan pemahaman istilah di atas maka pemakalah mencoba mendefinisikan pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer pengetahuan, perasaan, penentuan sikap dan tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal sehingga peserta didik mempunyai kepribadian yang berintegritas tinggi terhadap nilai atau aturan tersebut dan mampu melakukan hubungan sosial yang harmonis tanpa mengesampingkan nilai atau aturan yang ia junjung tinggi tersebut. Sehingga pendidikan berkarakter moral ini dapat membantu peserta didik memahami kebaikan, mencintai kebaikan dan menjalankan kebaikan (know the good, love the good, and do the good). Dengan demikian, karakter sebagai pembeda antara orang terdidik dengan orang yang tidak terdidik terlihat dengan jelas dari tiga indikator output yang telah disebutkan. Oleh karena itu, pemakalah mempunyai perspektif yang berbeda dengan Hasting et al. (2007) yang membedakan karakter moral dan nonmoral. Berdasarkan definisi tersebut, justru pemakalah menggabungkan karakter domain moral dan nonmoral menjadi tiga indikator yang tidak dapat dipisahkan ketika ingin mengetahui ciri manusia yang berkarakter moral.

Pengaruh Pancasila Terhadap Kehidupan Bermasyarakat

Image result for Cinta Tanah Air Indonesia

Pancasila pada saat ini cenderung menjadi lambang dan hanya menjadi formalitas yang dipaksakan kehadirannya di Indonesia. Kehadiran Pancasila pada saat ini bukan berasal dari hati nurani bangsa Indoensia. Bukti dari semua itu adalah tidak aplikatifnya sila-sila yang terkandung pada Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Berdasarkan realita yang ada dalam masyarakat, aplikasi sila-sila Pancasila jauh dari harapan. Banyaknya kerusuhan yang berlatar belakang SARA (suku, ras, dan antargolongan), adanya pelecehan terhadap hak azasi manusia, gerakan separatis, lunturnya budaya musyawarah, serta ketidak adilan dalam masyarakat membuktikan tidak aplikatifnya Pancasila. Adanya hal seperti ini menjauhkan harapan terbentuknya masyarakat yang sejahtera, aman, dan cerdas yang diidamkan melalui Pancasila.
Sebenarnya bangsa Indonesia bisa berbangga dengan Pancasila, sebab Pancasila merupakan ideologi yang komplit. Bila dibandigkan dengan pemikiran tokoh nasionalis Cina, dr. Sun Yat Sen, Pancasila jauh lebih unggul. Sun Yat Sen meunculkan gagasan tentang San Min Chu I yang berisi tiga pilar,yaitu nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Gagasan Sun Yat Sen ini mampu mengubah pemikiran bangsa Cina di selatan.Dengan gagasan ini, Sun Yat Sen telah mampu mewujudkan Cina yang baru, modern, dan maju. Apabila San Min ChuI-nya Sun Yat Sen mampu untuk mengubah bangsa yang sedemikian besar, seharusnya Pancasila yang lebih komplit itu mampu untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
Di Indonesia, sejak diresmikannya Pancasila sampai sekarang, penerapan Pancasila masih ‘jauh bara dari api’. Yang terjadi pada saat ini bukan penerapan Pancasila, melainkan pergeseran Pancasila.Ketuhanan yang menjadi pilar utama moralitas bangsa telah diganti dengan keuangan. Kemanusiaan yang akan mewujudkan kondisi masyarakat yang ideal telah digantikan dengan kebiadaban dengan banyaknya pelanggaran terhadap hak azasi manusia. Persatuan yang seharusnya ada sekarang telah berubah menjadi embrio perpecahan dan disintegrasi. Permusyawarahan sebagai sikap kekeluargaan berubah menjadi kebrutalan. Sementara itu, keadilan sosial berubah menjadi keserakahan.
Selain dari pihak masyarakat sendiri, pergeseran makna Pancasila juga dilakukan oleh pihak penguasa. Pada masa tertentu, secara sistematis Pancasila telah dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan. Tindakan yang dilakukan terhaap Pancasila ini turut menggoncang eksistensi Pancasila. Pancasila seakan-akan momok yang menakutkan, sehingga oleh sebagian masyarakat dijadikan sebuah simbol kekuasaan dan kelanggengan salah satu pihak.
Dalam era kesemrawutan global sekarang, ideologi asing mudah bermetamorfosa dalam aneka bentuknya dan menjadi pesaing Pancasila. Hedonisme (aliran yang mengutamakan kenikmatan hidup) dan berbagai isme penyerta, misalnya, semakin terasa menjadi pesaing yang membahayakan potensialitas Pancasila sebagai kepribadian bangsa. Nilai intrinsik Pancasila pun masih sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor kondisional. Padahal, gugatan terhadap Pancasila sebagai dasar negara dengan sendirinya akan menjadi gugatan terhadap esensi dan eksistensi kita sebagai manusia dan warga bangsa dan negara Indonesia.
Untuk menghadapi kedua ekstrim (memandang nilai-nilai Pancasila terlalu sulit dilaksanakan oleh segenap bangsa Indonesia di satu pihak dan di pihak lain memandang nilai-nilai Pancasila kurang efektif untuk memperjuangkan pencapaian masyarakat adil dan makmur yang diidamkan seluruh bangsa Indonesia) diperlukan usaha bersama yang tak kenal lelah guna menghayati Pancasila sebagai warisan budaya bangsa yang bernilai luhur, suatu sistem filsafat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, bersifat normatif dan ideal, sehingga pengamalannya merupakan tuntutan batin dan nalar setiap manusia Indonesia.
Dari berbagai kenyataan di atas timbul berbagai pertanyaan, apakah pancasila sudah tidak cocok lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, kalau pancasila masih cocok di Indonesia, dalam hal ini siapa yang salah, bagaimana membangun Indonesia yang lebih baik sehingga sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.
Salah seorang budayawan Indonesia yaitu Sujiwo Tejo mengatakan bahwa “untuk memajukan bangsa ini kita harus melihat kebelakang, karena masa depan bangsa Indonesia ada dibelakang”. Maksudnya kita harus melihat kembali sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Cita-cita untuk memajukan bangsa Indonesia ada disana. Cita-cita bersama itu adalah suatu paham yang diperkanalkan oleh Ir.Soekarno dalam rapat BPUPKI. Cita-cita tersebut ialah pancasila.
Pancasila merupakan perpaduan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu secara konsep pancasila merupakan suatu landasan ideal bagi masyarakat Indonesia. Presiden Republik Indonesia (Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono) dalam pidato kenegaraannya mengatakan bahwa pancasila sebagai falasafah Negara sudah final. Untuk itu jangan ada pihak-pihak yang berpikir atau berusaha menggantikannya. Presiden juga meminta kepada seluruh kekuatan bangsa untuk mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Penegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bentuk sikap reaktif atas kecenderungan realitas sistem sosial politik yang saat ini mengancam eksisitensi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dengan demikian pernyataan itu jika sikapi secara konstruktif merupakan peringatan dan sekaligus ajakan politis kepada generasi sekarang untuk menjaga Pancasila dari berbagai upaya taktis dari pihak-pihak yang ingin mencoba menggantikannya.

Fungsi Pancasila

 Image result for Cinta Tanah Air Indonesia



Fungsi pokok Pancasila adalah sebagai Dasar Negara. Selain fungsi pokok tersebut, masih ada fungsi lainnya yaitu :
  • Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia. 
      Ideologi berasal dari kata “Idea” yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita – cita dan logos berarti ilmu. Jadi Ideologi dapat diartikan sebagai Ilmu tentang ide atau gagasan yang bersifat mendasar. Ideologi ialah seperangkat nilai yang diyakini kebenarannya oleh suatu bangsa dan digunakan untuk menata masyarakatnya. Pancasila sebagai ideologi nasional merupakan kumpulan nilai yang diyakini kebenarannya oleh Bangsa Indonesia dan digunakan untuk menata masyarakat.
  • Pancasila sebagai pandangan hidup 
merupakan pedoman bagi Bangsa Indonesia dalam mencapai kesejahteraannya lahir dan batin.
  • Pancasila sebagai jiwa Bangsa Indonesia. 
Menurut Von Savigny bahwa setiap bangsa punya jiwanya masing-masing yang disebut Volkgeist, artinya Jiwa Rakyat atau Jiwa Bangsa. Pancasila sebagai jiwa Bangsa Indonesia lahir bersamaan dengan adanya Bangsa Indonesia sendiri yaitu sejak jaman dahulu kala. Menurut Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo bahwa Pancasila itu sendiri telah ada sejak adanya Bangsa Indonesia.
  • Pancasila sebagai kepribadian  bangsa  Indonesia, 
 artinya  Pancasila  lahir bersama dengan lahirnya Bangsa Indonesia dan merupakan ciri khas Bangsa Indonesia dalam sikap mental maupun tingkah lakunya sehingga dapat membedakannya dengan bangsa lain.
  • Pancasila sebagai perjanjian luhur 
artinya Pancasila telah disepakati secara nasional sebagai dasar negara, pada tanggal  18  Agustus  1945 melalui sidang  PPKI  (Panitia  Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
  • Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum 
artinya segala peraturan perundang-undangan  yang  berlaku  di  Indonesia  harus bersumberkan Pancasila atau tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
  • Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan yang ingin dicapai Bangsa Indonesia, 
yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata secara materiil maupun spiritual, berdasarkan Pancasila.
  • Pancasila sebagai falsafah hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia
 Pancasila merupakan sarana yang ampuh untuk mempersatukan Bangsa Indonesia. karena Pancasila adalah palsafah hidup dan kepribadian Bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang oleh Bangsa Indonesia diyakini paling benar, adil, bijaksana dan tepat untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.


Melihat besarnya fungsi Pancasila, maka sebagai generasi  muda  yang  akan  meneruskan  perjuangan bangsa Indonesia kelak, perlu memelihara dan melestarikannya dengan menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Arti Pancasila

 

Image result for garuda pancasila    

 Panca sila memiliki lima sila yang lambangnya telah kita bahas dalam segmen pertama, kelima isi sila dalam panca sila ini juga memiliki makna yang cukup penting.

Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama dalam pancasila ini pada umumnya adalah untuk bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berikut detilnya.
  • Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  • Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
  • Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
  • Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
  • Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
  • Saling mencintai sesama manusia.
  • Mengembangkan sikap tenggang rasa.Tidak semena-mena terhadap orang lain.
  • Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
  • Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  • Berani membela kebenaran dan keadilan.
  • Saling menghormati dengan bangsa lain karena Indonesia merupakan bagian dari dunia Internasional.
Persatuan Indonesia
  • Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Rela berkorban demi bangsa dan negara.
  • Cinta akan Tanah Air.
  • Berbangga sebagai bagian dari Indonesia.
  • Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
  • Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
  • Mengutamakan musyawarah dan berdiskusi dalam mengambil keputusan.
  • Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
  • Bermusyawarah sampai mencapai mufakat dengan semangat kekeluargaan.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
  • Adil terhadap sesama.
  • Membantu Sesama
  • Menghormati dan menghargai hak-hak orang lain.
  • Mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

Arti Lambang Pancasila

Arti Lambang Pancasila

 

Lambang pancasila





Sebelum kita membahas arti sila pancasila yang lebih detil ada baiknya kita memahami arti lambang pancasila tersebut yang digambarkan dalam 5 gambar yang memiliki arti penting.

1. Sila pertama dengan lambang Bintang – Ketuhanan yang Maha Esa

       Bintang pada lambang sila pertama artinya adalah menerangi dan memberi cahaya bagi bangsa dan negara. Terus memberi cahaya seperti tuhan yang maknanya adalah jalan terang agar negara dapat menempuh jalan yang benar.

2. Sila Kedua Lambang Rantai – Kemanusiaan yang adil dan beradab

      Rantai merupakan lambang dari sila kedua, rantai ini memiliki makna yang sangat besar dan terdiri dari rantai bulat (melambangkan perempuan) dan rantai persegi (melambangkan laki laki). Rantai yang saling berkait melambangkan bahwa setiap rakyat baik perempuan dan laki laki harus bersatu padu untuk agar bisa menjadi kuat seperti rantai.

3. Sila Ketiga Lambang Pohon Beringin – Persatuan Indonesia

     Pohon beringin merupakan pohon yang besar memiliki ranting luas yang dapat menjadi tempat berteduh yang menyejukkan. Selain itu pohon beringin juga memiliki akar yang sangat kuat dan menjalar di mana mana, seperti keanekaragaman suku dan bangsa indonesia yang harus tetap bersatu.

4. Sila Keempat Lambang Kepala Banteng – kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

     Kepala banteng memiliki makna bahwa hewan yang suka berkumpul dan memiliki kepala yang tangguh. Banteng merupakan hewan yang memiliki jiwa sosial yang tinggi dan suka berkumpul. Artinya kita harus rajin bermusyawarah dalam menyelesaikan suatu masalah dan dalam mengambil keputusan.

5. Sila Kelima Lambang Padi dan Kapas- keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
       Padi dan kapas ini melambangkan kebutuhan dasar manusia, padi yang menjadi dasar untuk makanan pokok dan kapas untuk kebutuhan dasar sandang. Jadi lambang ini bertujuan untuk memberikan kebutuhan dasar setiap bangsa Indonesia secara merata dan adil.



Makna dan Arti Sila-Sila

 Image result for garuda pancasila
  •  Sila Pertama Ketuhanan yang Maha Esa
  1. Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama) yaitu Tuhan yang Maha Esa
  2. Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya.
  3. Tidak memaksa warga negara untuk beragama.
  4. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama.
  5. Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan dalam beribadah menurut agamanya masing-masing.
  6. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama.
  • Sila Kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


  1. Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan
  2. Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa.
  3. Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah.
  • Sila Ketiga Persatuan Indonesia
  1. Nasionalisme.
  2. Cinta bangsa dan tanah air.
  3. Menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia.
  4. Menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan, keturunan dan perbedaan warna kulit.
  5. Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan.
  • Sila Keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
  1. Hakikat sila ini adalah demokrasi.
  2. Permusyawaratan, artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama.
  3. Dalam melaksanakan keputusan diperlukan kejujuran bersama.
  • Sila Kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
  1. Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat.
  2. Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing.
  3. Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya.




  • Sikap positif terhadap nilai-nilai pancasila
Nilai-nilai Pancasila telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu , mengamalkan Pancasila merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia.
Sikap positif dalam mengamalkan nilai-nilai pancasila.
  1. Menghormati anggota keluarga
  2. Menghormati orang yang lebih tua
  3. Membiasakan hidup hemat
  4. Tidak membeda-bedakan teman
  5. Membiasakan musyawarah untuk mufakat
  6. Menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing
  7. Membantu orang lain yang kesusahan sesuai dengan kemampuan sendiri

Pekan Pancasila

               NEGARA Indonesia diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sehar...