Secara
etimologis, istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu
kharaseein, yang awalnya mengandung arti mengukir tanda di kertas atau
lilin yang berfungsi sebagai pembeda (Bohlin, 2005). Istilah ini selanjutnya
lebih merujuk secara umum pada bentuk khas yang membedakan sesuatu dengan yang
lainnya. Dengan demikian, karakter dapat juga menunjukkan sekumpulan kualitas
atau karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan diri seseorang dengan
orang lain (Timpe, 2007).
Perkembangan
berikutnya, pengetahuan tentang karakter banyak dipelajari pada ilmu-ilmu
sosial. Dalam filsafat misalnya, istilah karakter biasa digunakan untuk merujuk
dimensi moral seseorang. Salah satu contoh adalah ilmuwan Aristoteles yang
sering menggunakan istilah ēthē untuk karakter yang secara etimologis berkaitan
dengan “ethics” dan “morality”. Adapun ahli psikologi pun banyak yang
mengajukan definisi karakter dari berbagai pendekatan. Ada yang menggunakan
istilah karakter pada area moral saja, ada juga yang memakainya pada domain
moral dan nonmoral. Menurut Hasting et al. (2007), karakter mempunyai domain
moral dan nonmoral. Karakter berdomain moral ialah semua perilaku yang merujuk
kepada hubungan interpersonal atau hubungan dengan orang lain. Contohnya, kasih
sayang, empati, loyal, membantu dan peduli dengan orang lain (sifat-sifat
feminis). Sedangkan karakter berdomain nonmoral adalah semua perilaku yang
merujuk kepada pengembangan sifat-sifat dalam diri atau intrapersonal. Contohnya,
disiplin, jujur, bertanggung jawab, pantang menyerah dan percaya diri
(sifat-sifat maskulin). Baik karakter berdomain moral maupun nonmoral tersebut
mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk membentuk kepribadian yang peka
terhadap kepentingan sosial (prososial).
Karakter
juga terkadang dipandang sebagai kepribadian dan/atau lebih bersifat perilaku.
Banyak ilmuwan psikologi yang mengabaikan fungsi kognitif pada definisi mereka
mengenai karakter, namun ada juga yang lebih bersifat komprehensif. Bahkan ada
ilmuwan yang menyatakan bahwa karakter merupakan suatu konstruksi sosial.
Menurut ahli konstruksi sosial, karakter seseorang dipengaruhi oleh lingkungan
sosialnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam perkembangan moral pada
manusia.
Salah
satu definisi karakter yang cukup lugas dikemukakan oleh Berkowitz (2002),
yaitu sekumpulan karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan
seseorang dan membantu dirinya untuk dapat berfungsi secara moral. Dikarenakan
sifat karakter yang plural, maka beberapa ahli pun membagi karakter itu ke
dalam beberapa kategori. Peterson dan Seligman (2004) mengklasifikasikan
kekuatan karakter menjadi 6 kelompok besar yang kemudian menurunkan 24
karakter, yaitu kognitif (wisdom and knowledge), emosional (courage/kesatriaan),
interpersonal (humanity), hidup bersama (justice), menghadapi
dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan (temperance), dan
spiritual (transcendence). Di Indonesia, sebuah lembaga yang bernama Indonesia
Heritage Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada
anak-anak untuk menjadikannya pribadi berkarakter. Megawangi (dalam http://ihfkarakter.multiply.com/journal)
menamakannya “9 Pilar Karakter”, yakni cinta Tuhan dan kebenaran; bertanggung
jawab, kedisiplinan, dan mandiri; mempunyai amanah; bersikap hormat dan santun;
mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama; percaya diri,
kreatif, dan pantang menyerah; mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan;
baik dan rendah hati; mempunyai toleransi dan cinta damai.
Sedangkan
pemahaman moral sendiri
menurut Damon (1988) adalah aturan dalam berperilaku (code of conduct).
Aturan tersebut berasal dari kesepakatan atau konsesus sosial yang bersifat
universal. Moral yang bermuatan aturan universal tersebut bertujuan untuk
pengembangan ke arah kepribadian yang positif (intrapersonal) dan hubungan
manusia yang harmonis (interpersonal). Lebih lanjut, Nucci & Narvaes (2008)
menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan
karakter seseorang. Oleh karena itu, indikator manusia yang berkarakter moral
adalah:
1.
Personal improvement; yaitu individu yang
mempunyai kepribadian yang teguh terhadap aturan yang diinternalisasi dalam
dirinya. Dengan demikian, ia tidak mudah goyah dengan pengaruh lingkungan
sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang diinternalisasi
tersebut. Ciri kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai
integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan
aturan yang dia junjung tidak akan melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh,
individu yang menjunjung tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh oleh
lingkungan sosial untuk mencontek, manipulasi dan korupsi.
2.
Social skill; yaitu mempunyai kepekaan sosial yang
tinggi sehingga mampu mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan
dengan hubungan sosialnya yang harmonis. Setiap nilai atau aturan universal
tentunya akan mengarahkan manusia untuk menjaga hubungan baik dengan orang
lain. Contohnya, individu yang religius pasti akan berbuat baik untuk orang
lain atau mengutamakan kepentingan ummat.
3.
Comprehensive problem solving; yaitu sejauhmana
individu dapat mengatasi konflik dilematis antara pengaruh lingkungan sosial
yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas pribadinya
terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman
terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu
tersebut tetap mendasarkan keputusan/sikap/ tindakannya kepada nilai atau
aturan yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh, seorang
murid yang tidak mau mengikuti teman-temannya mencontek saat tidak diawasi oleh
guru karena ia tetap menjunjung tinggi nilai atau aturan yang berlaku
(kejujuran). Meskipun sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku
teman-temannya yang mencontek. Keluwesan dalam berfikir dan memahami inilah
dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan tersebut benar atau salah.
Terminologi pendidikan memang berbeda dengan
pengajaran. Perbedaan tersebut terletak pada ranah yang ‘disentuh’ oleh
pendidikan dan pengajaran. Dalam terminologi pengajaran maka guru hanya
memberikan ilmu sebatas dalam ranah pengetahuan (cognitive) kepada
muridnya. Sedangkan dalam terminologi pendidikan maka guru
memberikan ilmu dalam ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective),
sikap (attitude) dan tindakan (action). Hal tersebut
sebenarnya berdasarkan pemikiran filosofis dari Aristoteles (filusuf Yunani)
yang mempunyai prinsip soul & body dualism, yaitu manusia
hakikatnya terdiri dari dua elemen dasar, yaitu rohani dan ragawi. Oleh karena
itu, pendidikan tidak hanya memberikan ‘asupan’ untuk raga (dalam hal ini
direpresentasikan dengan otak) tetapi juga ‘asupan’ untuk rohani berupa
moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau benar-salah.
Berdasarkan paparan pemahaman istilah di atas maka
pemakalah mencoba mendefinisikan pendidikan berkarakter moral
sebagai proses transfer pengetahuan, perasaan, penentuan sikap dan tindakan terhadap
fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal sehingga peserta didik
mempunyai kepribadian yang berintegritas tinggi terhadap nilai atau aturan
tersebut dan mampu melakukan hubungan sosial yang harmonis tanpa
mengesampingkan nilai atau aturan yang ia junjung tinggi tersebut. Sehingga
pendidikan berkarakter moral ini dapat membantu peserta didik memahami
kebaikan, mencintai kebaikan dan menjalankan kebaikan (know the good, love
the good, and do the good). Dengan demikian, karakter sebagai pembeda antara
orang terdidik dengan orang yang tidak terdidik terlihat dengan jelas dari tiga
indikator output yang telah disebutkan. Oleh karena itu, pemakalah mempunyai
perspektif yang berbeda dengan Hasting et al. (2007) yang membedakan karakter
moral dan nonmoral. Berdasarkan definisi tersebut, justru pemakalah
menggabungkan karakter domain moral dan nonmoral menjadi tiga indikator yang
tidak dapat dipisahkan ketika ingin mengetahui ciri manusia yang berkarakter
moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar